Title
: Scramble Heart [Chap 5 – As Cold As Ice]
Cast
: BTS Member, Yoon Chaeryoung, Yoo Hyesun
Author
: SHC
Genre
: Romance
Lenght
: Chaptered (16 Chap)
Rating
: PG-13
*****
“Apa Jimin membuatmu menangis?”
“Jadi dia membuatmu menangis?”
“Tidak.... Bukan begitu...”
“Lalu kenapa kau menangis?”
“Tidak.... Hanya saja....”
“Hanya saja?” Seokjin masih menunggu jawaban dari
gadis yang berdiri dihadapannya.
“Sesuatu terjadi di kafe tempatku bekerja tadi”
“Kukira aku tak mau menceritakannya padamu...”
“Baiklah kalau begitu..” Seokjin mencoba menahan
rasa ingin tahunya. “Lalu apa yang ingin kau lakukan sekarang?”
“Sepertinya aku pulang saja”
“Tidak usah, aku naik bus saja. Lagipula ini belum
larut, masih banyak orang yang berlalu lalang. Aku tidak akan apa-apa”
Chaeyoung tersenyum.
“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu...”
*****
“Eoh? Noona? Kau sudah pulang? Tumben sekali? Apa
ada sesuatu yang teradi lagi?” Kedatangan Chaeryoung dirumah disambut oleh Jungkook
dan Taehyung yang sedang berbincang di teras rumah mereka. Dan Chaeryoung
sadari, disana juga ada Jimin, duduk disebelah Jungkook.
“Tidak ada....” Chaeryoung berjalan tanpa menatap
satupun pasang mata disana. “Aku mau masuk dulu....” Chaeryoung membuka pintu
dan masuk kerumah. Tak lupa kembali menutup pintunya.
“Hyung?” Jungkook menyadari suasana tak nyaman saat
Chaeryoung melewati Jimin.
“Jangan tanya aku..” Jimin berusaha menjauhi
pertanyaan Jungkook.
“Jadi kau bertengkar dengannya?” Jungkook kembali
bertanya. Tapi kali ini tak menunggu jawaban, Jungkook menambahkan “Tidakkah
kau mau mengubah sifatmu itu hyung? Suasana dirumah ini terasa aneh saat kau
bersikap seperti itu”
“Tapi itu semua karena Chaeryoung yang datang
kerumah kita. Andaikan dia tak datang, aku pasti tak akan bersikap seperti ini”
Jimin membela dirinya sendiri.
“Tapi ini semua kan keinginan ayah? Andai ayah tau
bagaimana kau memperlakukan Chaeryoung noona...”
“Tapi bukankah kau sebenarnya peduli dnegan
Chaeryoung noona?” Kali ini Taehyung menambahkan. Mata Jimin dan Jungkook
beralih pada Taehyung yang baru saja membuka mulutnya dan masuk kedalam
percakapan. “Aku tau sebenarnya kau peduli hyung. Tidak mungkin kau akan
mengajaknya pulang saat itu, jika kau tak peduli dengannya”
“Tidak... bukan begitu... Aku hanya melakukannya
karena dia seorang wanita...”
“Lihat? Kau bahkan melihatnya sebagai seorang
wanita.... bukan ‘seseorang yang tinggal dirumah kami’. Aku benar kan?”
“Bukan begitu...” Tiba-tiba saja Jimin teringat
ucapannya pada Chaeryoung beberapa saat yang lalu. Tak melihatnya sebagai
wanita.... Tapi baru saja, Jimin mengatakan pada Tahyung kalau ia melihatnya
sebagai wanita. Jadi bukankah itu namanya bohong? Lalu siapa yang ia bohongi?
Chaeryoung atau Taehyung? Atau bahkan dirinya sendiri?
“Kau bersikap seperti itu karena kau peduli padanya
hyung. Kau memiliki perasaan padanya. Kau hanya tak mau memperlihatkannya, atau
mungkin kau tak menyadarinya. Kau terlalu dingin, cobalah untuk bersikap
sedikit hangat padanya, mungkin kau akan mengetahui perasaanmu yang sebenarnya”
“Sudahlah, aku mau masuk dulu... Jin hyung memintaku
untuk membenarkan laptopnya” Jimin beranjak dari duduknya dan membuka pintu
masuk rumahnya. “Dan aku minta tolong pada kalian, jika kalian sudah bisa
mengajaknya bicara sampaikan permintaan maafku padanya” Jimin masuk kedalam
rumah dan menutup pintunya.
“-nya? Siapa itu?” Jungkook bertanya pada Jimin yang
sudah menghilang masuk ke dalam rumah.
“Siapa lagi? Tentu saja Chaeryoung noona...”
Taehyung menjawab pertanyaan Jungkook yang sehausnya dijawab oleh Jimin.
“Jadi mereka benar-benar bertengkar?”
“Kenapa kau masih bertanya? Tentu saja begitu....
itu sudah jelas”
*****
“Kim Taehyung, Kim Jungkook... mau kubuatkan kopi?”
Chaeryoung tiba-tiba saja muncul dari pintu masuk rumah mereka.
“Ah, Noona... kukira kau sudah tidur...” Jungkook
yang menyadari kedatangannya menoleh ke arah Chaeryoung.
“Tidak, aku hanya mengganti bajuku saja..”
Chaeryoung tersenyum. “Mana Jimin?”
“Ah... dia di kamar Seokjin hyung. Dia bilang sedang
membenarkan laptop Jin hyung..” Taehyung menyahut.
Chaeryoung mengangguk-angguk mengerti. “Lalu?
Bagaimana? Mau kubuatkan?”
“Baiklah” Chaeryoung masuk ke dalam rumah, diikuti
Jungkook dan Taehyung dibelakangnya. Diambilnya 3 cangkir kecil untuk kopi yang
akan mereka minum. Dan dibuatnya kopi itu.
“Noona?” Jungkook memanggil Chaeryoung dari meja
makan.
“Tadi Jimin hyung bilang, dia minta maaf
kepadamu...”
“Ah, itu... biarkan saja, dia tidak salah”
Chaeryoung tersenyum.
“Tapi bukankah kalian bertengkar tadi?”
“Iya, kami brtengkar, tapi hanya permasalahan kecil.
Tak usah dihiraukan... Dia tak perlu minta maaf”
“Memangnya apa masalahnya?” Taehyung ikut
berbincang.
“Masalahnya?” Chaeryoung membawa 3 cangkir kopi itu
kemeja makan, lalu ikut duduk di hadapan Jungkook dan Taehyung. “Tak ada, Hanya
perdebatan mulut saja. Dan mungkin aku yang terlalu overacting...”
“Ah... begitu” Jungkook mengangguk-angguk mengerti
“Noona?” Taehyung kembali memanggil Chaeryoung.
“Apa kau tak memiliki perasaan apa-apa pada Jimin
hyung?” Taehyung melanjutkan.
“Huh? Perasaan? Tidak.... memangnya kenapa?”
“Tidak ada... hanya saja kuasa kalian berdua aneh...
Jimin hyung sepertinya terlalu memperhatikanmu, meskipun dnegan cara yang aneh,
Kau juga sepertinya tertarik dengan Jimin Hyung”
“Tertarik? Ahaha... tidak... tidak... Aku hanya
sedikit khawatir dengannya. Dia terlihat tak bisa apa-apa karena kejadian yang
menimpanya dulu, yang aku bahkan tidak tau apa masalahnya...”
“Lihat? Kau bahkan khawatir dengan orang yang tak pernah
sekalipun bersikap lembut kepadamu. Bukankah itu aneh?” Taehyung mempertahankan
pendapatnya.
“Karena itu... Bukankah dia bersikap seperti itu
padaku karena kejadian yang menimpanya dulu? Maka dari itu...., aku ingin
membantunya. Maka semuanya akan baik-baik saja jika dia sudah merasa lebih
baik. Lagipula Seokjin...”
“Lagipula Seokjin? Kenapa dengan Seokjin hyung?”
Jungkook menambahi.
“Tidak ada, sudahlah cepat habiskan dan tidur”
Chaeryoung kembali meminum kopinya.
“Kau saja yang tidur noona, kami masih mau menunggu
Seokjin hyung, Namjoonie hyung, Hoseok hyung, dan Yoongi hyung” Taehyung juga
kembali meminum kopinya - hingga habis.
“Baiklah” Chaeryoung bangkit dari duduknya dan
membersihkan gelas bekasnya.
“Oh iya, noona. Sepertinya besok semuanya memiliki
kegiatan di pagi hari, jadi mungkin kau akan disini sendirian. Dan kau bisa
membuat sarapanmu sendiri kan?” Taehyung berniat mencucui gelas miliknya
sendiri, namun gelasnya direbut dan Chaeryoung yang membersihkannya.
“Tak apa-apa. Mungkin besok aku akan bersih-bersih
rumah ini saja. Dan soal sarapan, tentu saja aku bisa...”
“Baiklah kalau begitu....”
*****
Suara
air mengalir terdengar dari dalam kamar mandi yang terletak di dalam kamar
Chaeryoung. Tampaknya Chaeryoung sudah bangun sejak tadi, kini dia sedang
membersihkan badannya di dalam kamar mandi. Sedangkan ketujuh besaudara itu
sudah berangkat ke tempat tujuan mereka masing-masing sejak pagi-pagi buta.
Tak
lama, Chaeryoung keluar dari kamar mandinya dengan handuk yang masih menggelung
rambutnya. Sedangkan tubuhnya sudah tertutup oleh pakaian.
“Baiklah, tinggal mengeringkan rambut, lalu
bersih-bersih rumah ini...” Chaeryoung berjalan ke cermin besar dekat
ranjangnya. Lalu mengambil hair dryer dan mulai mengeringkan rambutnya.
“Aku tidak menyangka semua yang kubutuhkan sudah
disediakan....” Chaeryoung tersneyum ke pantulan dirinya dicermin. Tapi
tangannya masih memegang hari dryer yang menyala dan sedang mengeringkan
helai-helai rmabutnya. Setelah rambutnya kering, dibawanya handuk yang tadi menempel
di kepalanya ke bawah.
“Kurasa sebaiknya aku tak sarapan dulu..” Chaeryoung
berjalan melewati meja makan dan mulai merapikan rumah itu. Mulai dari ruang
keluarga, teras, ruang makan, kamar mandi, halaman, dan tak lupa Chaeryoung
masuk ke dalam kamar satu-persatu. Terakhir, Chaeryoung masuk ke kamar Jimin
untuk membersihkannya.
Meskipun tau tak ada orang, Chaeryoung tetap
mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke kaamr Jimin. “Aku masuk...”
Perlahan Chaeryoung membuka pintu kamar Jimin. Tak seperti yang lainnya, kamar
Jimin adalah yang paling rapi diantara semua saudara-saudaranya. Chaeryoung
memutuskan untuk membersihkan saja, karena dia rasa kamar Jimin sudah cukup
rapi.
“Oh, lihat. Ini foto masa kecilnya...” Chaaeryoung
menghampiri jajaran pigura kecil yang terletak di atas meja belajar milik
Jimin.
“Astaga.... dia masih kecil sekali...” Chaeryoung
mengambil salah satu dari pigura itu
“Kau lucu sekali Jimin-ssi...” Chaeryoung tersenyum
sendiri melihat foto Jimin yang sedang ia pegang itu, setelah puas menatapnya,
Chaeryoung megembalikan foto itu ke tempatnya semula. Kali ini mata Chaeryoung
tertuju pada guci besar yang berdiri di sebelah meja belajar itu. Chaeryoung
menghampirinya.
“Guci ini bagus sekali. Speertinya mahal...”
Chaeryoung memegangnya dengan hati-hati. Merasakan debu tipis menempel pada
guci itu, Chaeryoung membersihkan guci setinggi pinggangnya itu dengan
hati-hati.
“Jja! Sudah selesai! Sepertinya aku harus cepat
keluar dari sini” Chaeryoung berbalik hendak keluar dari kamar Jimin, namun
entah apa yang terjadi, guci yang lumayan besar itu erjatuh menimpa kaki
Chaeryoung dan pecah di lantai. Chaeryoung yang juga ikut terjatuh, terkejut
melihat kakinya yang berdarah deras itu. Bukan, ia terkejut melihat gucinya
yang pecah itu.
“Astaga.... Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak
tau apa yang terjadi...” Chaeryoung memegang kedua kakinya yang masih
mengalirkan darah segar. Gadis itu berusaha untuk berdiri, tapi sepertinya ia
tak mampu.
“Sial...aku tak bisa berdiri” Pada akhirnya
Chaeryoung memutuskan untuk mengambil pecahan-pecahan kaca yang tergeletak di
dekatnya dengan posisi duduk dan mengumpulkannya ke satu tempat.
Tiba-tiba saja pintu kamar Jimin terbuka dan
terdengar seseorang megatakan sesuatu. “Apa yang terjadi?”
“Jimin-ssi...” Chaeryoung menatap Jimin yang masih
berdiri di pintu itu. “Ah, maafkan aku masuk ke kamarmu tanpa seizinmu, aku
hanya membersihkan kamarmu, Aku tak melihat apa-apa...” Yang diajak biacara tak
menghiraukan, Jimin hanya terfokus dengan pecahan-pecahan guci yang berserakan
dilantai. Jimin menghampiri pecahan-pecahan itu.
“Guciku... Apa yang terjadi?”
“Kakimu berdarah?” Kali ini Jimin menatap kaki
Chaeryoung yang masih terus mengalirkan darah segar, bau anyirnya memang
menusuk hidung. “Kau terkena guci ini?”
“Eum... ya, tapi aku tak benar-benar tau apa yang
sebenarnya terjadi, itu jatuh begitu saja, Jadi...”
“Kau diamlah disini, biar kucarikan obat merah”
Jimin berdiri dan berlari keluar dari kamarnya. Sedangkan Chaeryoung hanya memandangnya
heran.
“Dimana kotak obatnya?” Jimin masih terus berlari
mengelilingi rumahnya mencari kotak obat dan membuka satu persatu lemari yang
sekiranya ada obat merah dan perban didalamnya. “Kenapa tidak ada?” Pada
akhirnya Jimin mengambil ponselnya dan menghubungi Seokjin untuk menanyakan
keberadaan kotak itu.
“Halo? Hyung, apa kau tau dimana kotak obatnya?”
“Kotak
obat? Sepertinya aku meletakkannya di dekat televisi, memangnya siapa yang
terluka?”
“Nanti saja oke? Aku harus cepat cepat...” Jimin
mematikan samungan teleponnya dan menghampiri meja yang terletak di dekat
televisi. Jimin tersenyum “Ketemu...” Setelah menemukannya, Jimin segera
mengambilnya dan membawanya ke kamarnya. Tanpa mengatkan sepatah katapun, Jimin
menghampiri Chaeryoung yang masih tergeletak di lantai dan berlutut di
hadapannya. Dengan terburu-buru Jimin membuka kotak obat itu.
“Tak usah terburu-buru...” Chaeryoung menasehati
Jimin yang sepertinya terllu terburu-buru sehingga membuat obatnya terlempar
keluar. Jimin mengambil obat merah yang terlempar itu dan membukanya.
*****
“Sial... sudah habis...” Jimin melempar botol obat
merah yang sudah kosong itu ke sembarang arah. Tak menyerah, Jimin mengeluarkan
seluruh isi yang ada di kotak obat itu, berharap menemukan sebotol lagi.
“Sudahlah, lagipula ini tidak sakit”
“Tidak bisa, jika kau tak segera membersihkannya,
kau bisa infeksi” Kali ini Jimin berdiri dan membuka satu-persatu loker yang
ada di kamarnya. Aku hanya menatap gerak-geriknya bingung. “Hhh.... Mau
bagaimana lagi?” Jimin kembali menghampiriku.
“Ayo...” Jimin berjongkok di hadapanku. “Naik ke
punggungku, kita ke rumah sakit”
“Huh? Kenapa tak beli saja? Aku bisa menahan
sakitnya sementara”
“Rumah sakit tidak jauh dari sini, Kalau toko obat,
mungkin dua kali perjalanan dari sini ke rumah sakit”
“Lalu kenapa tak beli obatnya di rumah sakit saja?”
“Tch, daripada aku bolak-balik dari sini ke rumah
sakit lalu pulang, akan memakan waktu yang cukup lama, kenapa tak sekalian saja
kau ikut? Itu lebih cepat”
“Sudahlah, ayo cepat naik ke punggungku...!”
Huh,
Jimin bodoh, bergerak saja aku tak bisa, bagaimana caranya aku naik ke
punggungmu itu hah?
“Ah, kau tak bisa naik ya?” Ah, sepertinya Jimin
membaca pikiranku. “Biar kubantu” Jimin meraih tangan kananku dan meletakkanya
di pundak bagian kanannya, begitu juga tangan kiriku. Setelah kedua tanganku
benar-benar melingkar dengan sempurna di lehernya, Jimin berdiri dan
mengangkatku keluar dari kamarnya. Darah dari kakiku masih terus tercecer
dilantai.
Ah...
jadi begini bau Jimin? Ini pertama kalinya kami sedekat ini. Dia benar-benar
memiliki bau yang khas...
“Apa darahnya masih terus menetes?”
“Ya...Sepertinya...” Aku melihat ke bawah, darahku
memang masih mengalir.
“Kau tak memiliki hemofilia kan?” Jimin kembali
bertanya.
“Syukurlah kalau begitu...”
Sial,
ada apa denganku? Rasanya aneh...
Ya,
aneh rasanya saat Jimin terlalu mengkhawatirkanku.
Sebaiknya aku turun saja untuk
menghentikan perasaan aneh ini.
“Eum... apa kau tak mau menurunkanku?”
“Tidak ada... hanya saja... sepertinya aku terlalu
berat”
“Tak apa, kau tidak berat. Lagipula kau meninggalkan
sarapan pagi ini kan?”
“Eoh? Bagaimana kau bisa tau?”
“Tentu saja aku tau bodoh...”
Baiklah
Kim Jimin, kali ini kau benar-benar membuat wajahku terasa panas, mungkin jika
aku melihat ke kaca sekarang, wajahku sudah merah padam. Jantungku juga
berdetak semakin kencang, sial.... semoga saja Jimin tak merasakannya.
“Hei? Kau tak apa?” Jimin kembali bertanya. Kali ini
dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Aku
benar kan? Ini aneh...
“Huh? Aku tak apa-apa.... Memangnya kenapa?”
“Tidak.... terakhir kali kau bilang kau terluka
karena ucapanku. Aku takut mungkin karena aku bilang kau bodoh barusan, kau
kembali marah padaku... tiba-tiba saja kau tak mengeluarkan suara barusan...
jadi kukira kau marah....”
“Huh? Tidak... aku tak apa-apa...”
“Kukira kau marah karena kau tiba-tiba diam
barusan...” Jimin tersenyum, itu senyum tulusnya. “Syukurlah kalau begitu...”
Sial!
Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau semakin membuatku merasakan hal aneh
padamu...AAAKKKHHH!!!! Jimin!!! Kau sialan.... Kenapa aku tiba tiba diam? Itu
smeua karena kau!!! Jadi berhentilah tersneyum!!! Sebelum wajahku semakin
terbakar karena kau!!! Yak!!! Kim Jimin!!!!
Kubilang
ini semua karena kau bodoh!!!...
“Hei, kau tidak tidur kan?” Jimin masih belum
berhenti menutup mulutnya.
“Tidak...” Aku menjawab singkat.
“Ahahaha... orang-orang sepertinya ngeri melihat
kakimu yang berdarah itu...”
Kenapa
sekarang kau tertawa???!!!!
Lihat?!
Ini semakin aneh.... Jadi bersikaplah seperti kau yang biasanya oke????
“Sedikit lagi kita sampai....” Ada apa dengan Jimin
hari ini? Dia tak mengucapkan hal banyak hari ini... Wajahku semakin panas,
sepertinya sudah benar-benar merah sekarang.
“Sial...” Aku melepaskan pegangan tanganku dan
menutupi kedua wajahku dnegan kedua tanganku.
Sialnya Jimin aku kehilangan keseimbangan dan jatuh
kebelakang, begitu juga Jimin “Yak!!! Kenapa kau melepaskan peganganmu eoh?”
“Ouch...” Aku memijat pergelangan kakiku yang
semakin sakit, tanganku berselimut darah akibatnya.
Sial....
nada itu lagi...
Aku kembali menutup kedua wajahku yang masih
memerah.
“Yak! Kau tidak menangis kan?! Kenapa kau tutupi
wajahmu!” Jimin berusaha menarik kedua tanganku yang masih menutupi wajahku.
“Jangan lihat!!!” Tentu saja aku tak mau dia melihat
wajah memerahku.
“Ayo cepat pergi dari sini.... yak!!! Semua orang
melihatku aneh sekarang!!! Yak!!! Sadarlah... kita di pinggir jalan raya” Kali
ini Jimin berhasil menarik tanganku. Tapi syukurlar dia tak melihat wajahku,
sepertinya karena ia merasa malu ia segera membawaku ke punggungnya dan
membawaku ke rumah sakit yang hanya tinggal menyebrang dari tempat Jimin
berdiri sekarang.
*****
“Bagaimana? Sudah lebih baik?” Jimin bertanya padaku
yang kini sedang diperban oleh seorang perawat. Bukan aku, kakiku...
“Ya... Sepertinya sebentar lagi aku bisa pulang
sendiri...” Aku tersenyum.
“Eum...” Aku menatap kakiku yang kini sudah
terperban rapi. Ralat, kedua kakiku... “Entahlah....”
“Sudahlah, tak usah memaksakan diri, kau bisa naik
ke punggungku lagi...”
“Eum.... bagaimana kalau kau telepon saja Kim
Seokjin?”
“Baiklah...” Jimin mengeluarkan ponselnya dan
mengirim sebuah pesan singkat pada kakaknya Seokjin.
“Permisi!!! Permisi!!!!!”
Sebuah kericuhan terdengar dari luar ruang
perawatan. Aku dan Jimin menoleh keluar pintu. Tepat pada saat itu, beberapa
dokter dan perawat mendorong seorang pasien yang sedang terbaring di ranjang
pasien. Sang dokter dan para perawatnya sepertinya sedang terburu-buru. Aku
hanya sempat melihat wajahnya sekilas. Dia seorang wanita.
“Kasihan sekali dia... kelihatannya sedang kritis...
Padahal ia cantik...” Aku menatap Jimin. Kelihatannya ia terkejut. Matanya
masih memandang pasien yang sedang terbaring itu, Sampai akhirnya pasien itu
menghilang disebuah ruangan. “Jimin-ssi, kau tak apa?”
“Ah, tidak ada... hanya saja sepertinya aku pernah
mengenalnya... Tapi sepertinya aku salah orang. Aku tidak kenal banyak
perempuan”
“Ah...” Aku mengangguk-angguk mengerti.
“Jimin-ah, Chaeryoung-ah...” Seokjin tiba-tiba saja
muncul dari pintu.
“Oh? Hyung? Cepat sekali????”
“Ahahaha.... aku hebat kan? Tepat saat pesanmu
masuk, aku sedang berada di depan rumah sakit ini. Pas sekali...” Seokjin
tertawa bangga. “Jadi Chaeryoung-ah, apa yang terjadi?”
“Ah, tadi aku membersihkan kamar Jimin, tapi entah
apa yang terjadi guci yang ada di kamar Jimin pecah dan menimpa kakiku...”
“Guci? Ah... guci dari orang itu?”
“Huh? Itu hadiah..??? Dari siapa???” Seketika aku
merasa sangat bersalah karena merusak barang pemberian orang lain yang
ditujukan pada Jimin.
“Sudahlah, lupakan. Itu tak masalah... biar aku
bersihkan sendiri nanti...” Jimin tampak menyela Seokjin yang baru saja akan
menjawab pertanyaanku. “Kalau begitu hyung. Bawa dia di punggungmu. Dia yang
memintanya tadi...”
“Hah?! Tidak... aku tidak bilang begitu!!! Yak!!!!” Aku
tidak bilang begitu kan? Jimin kembali mentertawaiku. Wajahku kembali memerah.
Huh...
kenapa kau kembali memasang wajah seperti itu? Kau membuat wajahku panas!
“Sudahlah, cepat sana naik. Aku keluar dulu...”
Jimin pergi keluar kamar meninggalkanku dan Seokjin sendirian. Tak lama kami
juga menyusul Jimin dengan posisi aku yang sudah ada di atas punggung Seokjin.
“Jja, ayo pulang...” Seokjin tersenyum dan membawaku
keluar dari ruang perawatan itu.
“Ibu! Lihat! Apa mereka berpacaran???” Seorang anak
kecil menunjuk ke arah kami.
“Ibu tidak tau sayang... tapi sepertinya begitu,
mereka manis kan?” Sang ibu mengelus anaknya.
“Iya... apa saat aku besar juga akan begitu bu?”
“Ahaha... Sepertinya merekasalah paham, kau
mendnegarnya?” Seokjin tertawa.
“Ya..” Aku mengerutkan dahi. Ada yang salah....
Aku
tak merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan saat bersama Jimin. Bukankah
itu aneh? Aku tak merasakannya saat bersama Seokjin.... itu harus Jimin... Ya,
Memang harus Jimin....
TBC